Klan Fujiwara
Fujiwara (藤原 ?) adalah nama keluarga di Jepang. Di zaman kuno hingga abad pertengahan, Fujiwara menunjukkan gelar kebangsawanan. Di zaman Heian, klan Fujiwara merupakan klan bangsawan, tapi sejak zaman Kamakura menjadi nama keluarga yang digunakan bersama oleh lima percabangan keluarga Fujiwara: Konoe, Takatsukasa, Kujō, Nijō, dan Ichijō. Kelima keluarga tersebut tidak menggunakan nama Fujiwara, kecuali untuk penulisan di dalam dokumen resmi.
Asal-usul
Berkat jasanya dalam Reformasi Taika, Nakatomi no Kamatari mendapat nama keluarga Fujiwara no Ason dari Kaisar Tenchi. Fujiwara no Ason berarti Fujiwara bergelar Ason (salah satu gelar dalam sistem Yakusa no Kabane). Pada waktu itu, klan Fujiwara merupakan salah satu dari 4 klan ternama: Minamoto, Taira, Fujiwara, dan Tachibana. Sebutan lain untuk klan Fujiwara adalah Tōshi, karena aksara kanji untuk “Fuji” juga dibaca sebagai Tō, sedangkan shi berarti klan.
Nama keluarga Fujiwara diterima Nakatomi no Kamatari sesaat sebelum meninggal. Setelah Kamatari meninggal, seorang anggota klan Nakatomi yang menjabat Udaijin, Nakatomi no Kane bersalah memimpin Perang Jinshin dan dihukum mati. Keluarga Nakatomi dari garis keturunan Kamatari sempat terancam binasa walaupun tidak terlibat pemberontakan. Setelah itu, di masa pemerintahan Kaisar Temmu, keturunan Kamatari menerima nama keluarga Fujiwara bergelar Ason. Saat itu, putra kedua Kamatari yang bernama Fuhito masih terlalu muda, dan sementara menunggu Fuhito menjadi dewasa, Nakatomi no Omimaro (sepupu Kamatari yang menjadi suami dari putri Kamatari) secara resmi memakai nama Fujiwara no Ason. Setelah dewasa, Fujiwara no Fuhito tumbuh menjadi pemimpin yang cerdas. Selain putra pewaris Kamatari (Fujiwara no Fuhito), keluarga Nakatomi yang sempat menyandang nama Fujiwara harus kembali menggunakan nama keluarga Nakatomi. Keputusan ini diambil untuk mengukuhkan klan Fujiwara sebagai pejabat Daijō-kan dan klan Nakatomi sebagai pejabat dalam Kementerian Jingi-kan. Putri Fujiwara no Fuhito yang bernama Kōmyōshi disebut Permaisuri Kōmyōshi setelah menikah dengan Kaisar Shōmu.
Empat keluarga Fujiwara
Setelah Fujiwara no Fuhito meninggal, Pangeran Obito yang naik tahta sebagai Kaisar Shōmu. Di masa pemerintahan Kaisar Shōmu terjadi pertentangan politik antara keempat putra Fujiwara no Fuhito yang disebut Empat bersaudara Fujiwara dan politikus bernama Nagaya no Ōkimi. Pada tahun 729, Nagaya no Ōkimi dituduh memberontak dan bunuh diri. Setelah itu, empat bersaudara Fujiwara membentuk Empat keluarga Fujiwara yang terdiri dari:
· Keluarga Fujiwara Selatan (Fujiwara Nanke)
- Keluarga Fujiwara Utara (Fujiwara Hokke)
- Keluarga Fujiwara Shiki (Fujiwara Shikike)
- Keluarga Fujiwara Kyō (Fujiwara Kyōke).
Ketika terjadi wabah cacar di tahun 737, keempat Fujiwara bersaudara ikut terjangkit cacar dan meninggal. Tachibana no Moroe, biksu Genbō, dan Kibi no Makibi menyusun rencana untuk menjatuhkan klan Fujiwara, namun digagalkan Fujiwara no Nakamaro. Kegagalan serupa juga dialami Tachibana no Naramaro yang bermaksud merebut kedudukan Fujiwara no Nakamaro.
Selanjutnya, empat keluarga Fujiwara sempat mengalami jatuh bangun dan hanya keluarga Fujiwara Utara saja yang terus berjaya sejak pertengahan zaman Heian. Putra Fujiwara no Fuyutsugu yang bernama Fujiwara no Yoshifusa memiliki hubungan darah dengan Kaisar Seiwa, dan diangkat sebagai pejabat Sessho. Selanjutnya keluarga Fujiwara secara turun temurun diangkat menjadi pejabat Sessho dan Kampaku.
Pada tahun 794, Kanmu Tenno ( Kaisar Kanmu ) memindahkan ibukota ke Kyoto untuk membangun kembali pemerintahan Ritsuyo. Ibukota baru ini diberi nama Heiankyo dengan harapan agar dunia yang damai dapat berlangsung terus. Masa sejak pemberian nama hingga 400 tahun sesudahnya disebut Heian Jidai ( jaman Heian ). Istana pemerintahan ada di Kyoto selama kira-kira 1100 tahun, yaitu sejak saat itu sampai berakhirnya Edo Jidai ( jaman Edo ).
Pada jaman Heian ini tanah pribadi ( shoen ) semakin bertambah. Terutama Fujiwara shi ( keluarga Fujiwara )yang mendapatkan posisi yang menguntungkan berkat pembaharuan Taika, memiliki tanah pribadi ( shoen ) yang sangat banyak, dan menjadi kaum penguasa ( kizoku ) yang paling berkuasa. Fujiwara shi menikahkan putrinya dengan Tenno ( kaisar ), menjadikan putra mahkota dari pernikahan tersebut sebagai kaisar, dan menjadikan dirinya sendiri sebagai Sessho ( patih ) pada saat putra mahkota ( oji ) masih kecil, kemudian menjalankan pemerintahan sebagai Kanpaku ( mangkubumi ) pada saat sang putra mahkota telah dewasa, sistem pemerintahan ini disebut Sesho Kanpaku. Fujiwara shi ( keluarga Fujiwara ) mengalami masa kejayaan apada awal abad-11, pada saat ayah dan anak ( Michinaga dan Yorimichi ) berkuasa. Ruang Phoenix ( Hoodo ) yang terdapat di kuil Byodin yang didirikan Yorimichi di daerah Uji (Kyoto) adalah bangunan yang paling terkenal dari jaman Heian, dan cara membangunnya merupakan cara membangun tempat tinggal kaum penguasa pada saat itu, disebut Shinden Zukuri.
Memasuki jaman Heian, kaum bangsawan menikmati kebudayaan ala Cina (Tofu), tetapi memasuki akhir abad ke-9, karena dinasti Tang mulai goyah, atas usul dari Sugawara no Michinaze, pengiriman utusan resmi ke Cina pun dihentikan. Karena pengaruh dari daratan Cina semakin berkurang, maka munculah kebudayaan baru khas Jepang Kokufubungaku. Kediaman kaum penguasa adalah bangunan yang disebut Shinden Zukuri, sedangkan pakaiannya, pada kesempatan resmi, pakaian formal untuk kaum pria terdiri dari baju dan penutup kepala (ikan, sokutai), dan untuk kaum wanita memakai pakaian yang disebut Jyunihitoe (kimono berlapis 12 ). Waka menjadi populer, dan atas perintah Tenno yang disebut Chokusen dibuatlah kumpulan puisi yang disebut Kokinwakashu. Periode Heian juga dianggap puncak istana kekaisaran Jepang dan terkenal karena seni, khususnya puisi dan sastra. Dalam bahasa Jepang Heian (平安) berarti “perdamaian, keamanan”.
Latar belakang
Berbeda dengan bahasa Jepang Kuno yang hanya menggunakan aksara Tionghoa, bahasa Jepang Klasik mengenal cara penulisan bahasa Jepang dengan aksara hiragana dan katakana. Perkembangan ini mempermudah penulisan bahasa Jepang, dan akhirnya melahirkan berbagai literatur klasik, seperti: Putri Kaguya, Hikayat Genji, dan Hikayat Ise.
Huruf Kana
Kira-kira sejak pertengahan abad ke-9, sebagai ganti Manyogana dipakailah Hiragana dan Katakana. Katakana adalah simbol yang menunjukkan suara yang diambil dari satu bagian huruf kanji, dan dipakai oleh kaum intelektual dan kaum pendeta. Hiragana, diambil dari huruf kanji yang wujud hurufnya tidak patah-patah (soshotai), dan dipakai oleh kaum wanita. Pada saat itu kaum pria masih menggunakan kanbun untuk menulis bunsho (karangan), dokumen-dokumen resmipunmasih berupa kanbun, tetapi karena kaum wanita sudah menggunakan Hiragana, maka telah dapat menunjukkan dengan perasaan serta pikiran-pikiran mereka sendiri secara bebas dalam bahasa Jepang. Kemudian tidak hanya waka, mereka banyak menulis karya-karya lain seperti nikki (catatan harian), zuihitsu (essei), monogatai (cerita), dan lain-lain. Diantaranya yang paling terkenal adalah novel panjang yang berjudul Genji Monogatari karya Murasaki Shikibu dan Makura no Soshi karya Seishonagon. Ginji Monogatari memfokuskan pada cerita tentang pertemuan tokohnya yang bernama Hikaru Genji dengan berbagai wanita, dan merupakan novel tentang kehidupan masyarakat Kizoku (kaum penguasa). Di dalam novel ini tertulis perasaan manusia secara rinci dan penggambaran alam dengan apa adanya
Bahasa Jepang Klasik (中古日本語 ,Chūko nihongo?, bahasa Jepang pertengahan) adalah bentuk bahasa Jepang yang dipakai sepanjang zaman Heian (794 and 1185), dan merupakan perkembangan lebih lanjut dari bahasa Jepang Kuno (Jōdai nihongo).
Agama
Agama pada permulaan jaman Heian, Pendeta Saicho (juga disebut Denkyo Daishi) dan Kukai (disebut juga Bodaishi) menyeberang ke Cina dan kembali ke Jepang setelah mempelajari agama Budha. Kemudian mengkritik agama Budha yang sampai saat itu berkaitan erat dengan pemerintahan. Mereka mendirikan kuil di atas gunung yang letaknya jauh dan terpisah dari ibukota, dan menciptakan aliran Tendai (oleh Saicho, di gunung Hiei) dan aliran Shingon (oleh Kukai, di gunung Koya). Budha yang baru ini meluas diantara istana dan kaum bangsawan.
Pada pertengahan abad ke-10 agama Sho (Shodokyu) meluas di kalangan kaum bangsawan dan rakyat biasa. Ajaran ini mengajarkan bahwa siapapun yang meminta kepada Budha Amitaba untuk menyelamatkan jiwanya, dapat pergi ke nirwana setelah ia mati. Kepercayaan pada Shodokyu banyak diminati oleh orang-orang yang gelisah karena meluasnya pemikiran tentang akhir jaman pada masa itu.
Mulculnya Keluarga Militer
Pada saat keluarga Fujiwara hidup mewah dan bersenang-senang di ibukota, kaum militer meluaskan kekuasaannya di daerah. Yang dimaksud kaum militer adalah orang-orang yang mulai memiliki kekuatan militer untuk melindungi tanah subur yang dimilikinya sendiri di daerah. Kaum militer membentuk kelompok militer dengan berpusat pada kaum bangsawan yang berkuasa, diantaranya yang memiliki kekuatan yang besar, contohnya keluarga Genji (keluarga Minamoto) dan keluarga Heishi (keluarga Taira).
Melewati pertengahan abad ke-11, kekuatan keluarga Fujiwara yang diktator melemah. Kaisar Shirakawa walaupun telah turun takhta, namun masih tetap memerintah sebagai Shoko (Kaisar yang memerintah) dan meneruskan pemerintahan dari istana yang disebut In, sehingga pemerintahannya disebut sebagi pemerintahan Insei. Karena ia memegang hegemoni politik (kekuasaan tunggal pemerintahan) maka Sessho, Kanpaku dan Tenno-pun keberadaannya hanya tinggal nama belaka.
Kira-kira pada pertengahan abad ke-12, terjadi pertentangan antara Shoko (Insei) dan Tenno (Kaisar). Pertentangan itu kemudian merambat menjadi pertentangan di keluarga besar Fujiwara. Masing-masing pihak-pihak bersekutu dengan kelompok militer terkuat, yaitu keluarga Genji dan keluarga Heishi yang kemudian berperang di ibukota. Peperanga ini disebut peperangan Hogen dan Heiji. Mulai saat itulah kelompok militer mulai bergerak menuju ke pusat.
Taira no Kimoyori memegang hegemoni politik setelah mengalahkan pihak Shoko dan keluarga Genji dalam peperangan Hogen dan Heiji, dan menggantikan keluarga Fujiwara dan Shoko. Kiyomori pada tahun 1167 menjadi Dashodaijin (penguasa utama), dan karena itulah seluruh keluaraga besarnyapun mencapai posisi tinggi di pemerintahan. Kemudian ia memperbaiki pelabuhan Hyogo ( Kobe ) dan melakukan perdagangan dengan Cina (dinasti Sung) serta mendapatkan keuntungan yang besar. Selain itu keluarga Heishi menjadikan banyak tanah sebagai miliknya, hingga begitu besar kekuatan yang dimilikinya sampai-sampai dikatakan bahwa kalua seseorang tidak termasuk keluarga Heishi, maka ia bukanlah manusia.
Kaisar Goshirakawa yang merasa tidak puas dengan cara-cara Heishi memanggil keluarga Genji yang setelah dikalahkandalam perang Hogen dan Heiji (oleh keluarga Heishi) melarikan diri ke daerah (tahun 1180) dan membuat mereka memulai pertempuran dengan keluarga Heishi.
Minamoto Yoritomo, Minamoto Yoshitsune (adiknya) beserta Kisoyoshinaka (sepupunya) dan kawan-kawan menyerang keluarga Heishi dimana-mana diseluruh negeri. Pada tahun 1185 seluruh keluarga besar Heishi dikalahkan olah tentara Yoshitsune di Dan no Ura (Shimonoseki-Shi, Yamaguchi-Ken) hingga seluruhnya binasa. Pertempuran ini disebut Dan no Ura no tatakai (pertempuran Dan no Ura).
Istana Heian
Rekonstruksi bangunan Daigokuden Istana Heian di Heian Jingū, Kyoto.
Sejarah
Istana Heian adalah kompleks bangunan terpenting dan pertama dibangun di ibu kota Heian-kyō. Istana Heian belum sepenuhnya selesai ketika istana dipindahkan ke Heian-kyō pada tahun 794 berdasarkan perintah Kaisar Kammu. Daigokuden selesai tahun berikutnya (795), dan kantor pemerintah yang menangani pembangunan dibubarkan pada tahun 805.[13]
Walaupun sudah dibangun dengan megah memakai arsitektur Cina, kompleks Chōdō-in dan Buraku-in secara bertahap tidak lagi dipakai. Penyebab utama adalah ditinggalkannya secara bertahap proses administrasi dan birokrasi Ritsuryō. Pusat kesibukan kompleks istana pindah ke Istana Dalam (Dairi) dan Shishinden. Di kemudian hari, Seiryōden bahkan mengambil alih peran Daigokuden sebagai pusat kesibukan urusan pemerintahan.
Sejalan dengan pindahnya pusat kesibukan di Dairi, bagian luar kompleks istana menjadi makin tidak aman, terutama pada malam hari. Salah satu alasan penyebab adalah kepercayaan takhyul yang kuat dalam masyarakat waktu itu. Gedung kosong dijauhi karena takut dengan arwah dan hantu. Kompleks Buraku-in bahkan dipercaya sebagai berhantu. Selain itu, usaha pengamanan istana makin berkurang. Pada awal abad ke-11 kemungkinan hanya ada satu pintu gerbang yang dijaga, yaitu pintu gerbang timur Yōmeimon. Oleh karena itu, kasus pencurian dan tindak kejahatan dengan kekerasan di dalam istana menjadi masalah pada paruh pertama abad ke-11.[14]
Kemungkinan kebakaran terus menghantui kompleks istana yang seluruhnya dibangun dari kayu. Walaupun gedung Daigokuden jarang digunakan, gedung ini dibangun kembali setelah terbakar pada tahun 876, 1068, dan 1156. Setelah kebakaran besar 1177 yang menghancurkan sebagian besar kompleks Istana Heian, Daigokuden tidak pernah dibangun kembali. Burakuin habis terbakar pada tahun 1063 dan tidak pernah dibangun kembali.[10]
Istana Heian atau Daidairi (大内裏 ?) adalah istana kekaisaran di ibu kota Jepang Heian-kyō (Kyoto) dari 794 hingga 1227. Istana berada di ujung utara kota, dan dibangun meniru perencanaan kota Chang’an pada zaman Dinasti Tang dan Dinasti Sui. Istana ini berfungsi sebagai tempat kediaman resmi kaisar dan pusat administrasi Jepang selama zaman Heian (794-1185).
Istana berada di kawasan tertutup yang dikelilingi tembok. Di dalamnya terdapat beberapa gedung upacara dan administrasi, termasuk kantor-kantor kementerian. Istana Dalam yang disebut Dairi (内裏 ?) dikelilingi tembok terpisah, dan merupakan kompleks kediaman Kaisar Jepang Selain tempat tinggal kaisar, Dairi merupakan tempat kediaman istri-istri kaisar serta gedung-gedung yang dipakai kaisar dalam melaksanakan tugas resmi dan seremonial.
Tujuan utama dibangunnya istana ini untuk mewujudkan model sentralisasi pemerintahan yang diadopsi dari Cina pada abad ke-7, dengan Daijō-kan berikut Delapan Kementerian di bawahnya. Istana dirancang sebagai tempat yang pantas untuk kediaman kaisar, sekaligus bangunan kantor untuk menjalankan urusan pemerintahan dan acara seremonial lainnya. Istana Dalam (Dairi) terus digunakan sebagai kediaman kaisar hingga abad ke-12, namun bangunan-bangunan lain yang dibuat untuk upacara agung sudah tidak dipakai lagi sejak abad ke-9. Hal ini disebabkan tidak berlakunya lagi beberapa prosedur upacara yang diatur oleh undang-undang, dan pengalihan beberapa upacara sisanya ke gedung yang lebih kecil di Dairi.
Sejak pertengahan zaman Heian, istana mengalami beberapa kali kebakaran dan musibah lain. Semasa pembangunan kembali, kaisar dan sejumlah tugas kementerian dipindahkan ke luar istana. Seringnya terjadi kebakaran dan makin hilangnya kekuasaan politik dari tangan kaisar menyebabkan Istana Heian tidak lagi dijadikan pusat administrasi pemerintahan. Pada akhirnya istana terbakar habis pada tahun 1227, dan tidak pernah dibangun kembali. Di atas tanah bekas istana didirikan berbagai bangunan sehingga hampir tidak ada sisa-sisa bangunan yang tertinggal. Pengetahuan tentang Istana Heian hanya berdasarkan sumber-sumber kontemporer, bagan dan lukisan kuno, serta ekskavasi arkeologis yang dilakukan secara terbatas sejak akhir 1970-an.
Lokasi
Peta skematis kota Heian-kyō yang menunjukkan lokasi istana dan Istana Sementara Tsuchimikado yang kemudian dibangun menjadi Istana Kekaisaran Kyoto (dalam peta: persegi panjang abu-abu di timur laut Daidairi).
Istana dibangun meniru model ibu kota Cina (khususnya ibu kota Dinasti Tang di Chang’an) yang juga ditiru sewaktu membangun dua ibu kota sebelumnya di Heijō-kyō (sekarang disebut Nara) dan Nagaoka-kyō. Istana berada di ujung utara kota, persis di bagian tengah, dengan bagian depan istana menghadap ke selatan. Sudut tenggara Istana Heian berada di tengah-tengah bangunan yang sekarang disebut Istana Nijō. Pintu gerbang utama istana disebut Suzakumon berada di ujung utara Jalan Raya Suzaku yang membelah kota menjadi dua bagian, timur dan barat, mulai dari pintu masuk kota yang disebut Rashōmon. Selain Suzakumon yang merupakan pintu gerbang utama, Istana Heian memiliki 13 pintu gerbang lain yang berada di ujung ruas-ruas jalan utama (大路 ,ōji?) di sekeliling istana, kecuali 3 ruas jalan di sudut utara istana yang sekaligus merupakan batas utara kota.
Kompleks istana (Daidairi)
Istana Heian (Daidairi) menempati tanah berbentuk persegi panjang yang dikelilingi tembok. Panjang tanah dari utara ke selatan sekitar 1,4 km. Batas utara dan selatan berupa jalan raya yang melintang dari timur ke barat: batas utara adalah Ichijō ōji (一条大路 ?, Jalan Raya Ichijō) dan batas selatan adalah Nijō ōji (二条大路 ?, Jalan Raya Nijō). Lebar tanah dari barat ke timur sekitar 1,2 km, antara Nishi Ōmiya ōji (西大宮大路 ?) dan Ōmiya ōji (大宮大路 ?) yang membujur dari utara ke selatan.[1] Tiga bangunan utama di dalam kompleks Istana Heian adalah kompleks bangunan resmi Chōdō-in (朝堂院 ?), kompleks bangunan resepsi Buraku-in (豊楽院 ?), dan Istana Dalam (内裏 ,Dairi?).
Zaman Heian
Pada zaman Heian, bahan-bahan untuk pembuatan kertas dicatat dalam buku Engishiki (protokol istana era Engi). Literatur klasik Genji Monogatari membanggakan teknik pembuatan kertas di Jepang yang dikatakan sudah menghasilkan kertas berkualitas lebih baik daripada kertas dari Dinasti Tang.
Pendirian pabrik kertas
Setelah ibu kota pindah ke Heian-kyō (805-809), pusat pembuatan kertas di Provinsi Yamashiro ditutup, dan digantikan pabrik kertas yang disebut kamiya-in atau kanya-in. Pabrik kertas masa itu sudah menggunakan teknik lokal pembuatan kertas yang disebut nagashizuki.
Teknik nagashizuki
Pada teknik nagashizuki, tikar penapis digerakkan dengan gerakan ke atas, ke bawah dan ke samping agar larutan bubur kayu menempel pada tikar penapis dan larutan bubur kayu yang berlebih kembali ke dalam air. Lapisan bubur kayu yang menempel di atas tikar penapis inilah yang kemudian dikeringkan menjadi kertas.
Teknik nagashizuki Jepang berbeda dengan teknik nagashizuki dari Cina dan Korea dalam cara menggerakkan tikar penapis dan penambahan bahan perekat ke dalam larutan bubur kayu. Di Cina dan Korea, tikar penapis digerakkan ke depan dan ke belakang sampai ketebalan kertas yang diinginkan tercapai. Kertas yang lebih tipis dapat dihasilkan tanpa bahan perekat. Di Jepang, bahan perekat dari getah digunakan untuk mengikat serat agar lapisan serat menempel pada tikar penapis sewaktu sewaktu tikar digerakkan ke atas, ke bawah dan ke samping. Penggunaan bahan baku berupa perdu Diplomorpha sikokiana (ganpi) yang mengandung bahan perekat juga membuat larutan bubur kayu menjadi lengket.
Kertas karakami produksi Jepang
Pada zaman Heian, pemisah ruangan masih menggunakan kain tenun dari sutra dan kertas impor dari Cina (karakami). Kertas impor dari Cina memiliki motif yang dibuat dengan cara mencampur mika pada kertas. Sejalan dengan kemajuan teknik pembuatan kertas, kertas karakami juga bisa diproduksi di Jepang.
Karakami adalah kertas ganpi atau kertas torinoko yang dilapisi dengan campuran bubuk kulit kerang dan gelatin. Jenis kertas ini memiliki motif yang terlihat seperti segi enam dan motif gaya Arab. Motif pada kertas dibuat dengan cetakan blok kayu dan bubuk Mika. Penggunaan shōji) sebagai pembatas ruangan menjadi populer pada zaman Muromachi. Oleh karena itu, kertas karakami juga disebut kertas fusuma (kertas pintu dorong).
Kebudayaan kertas zaman Heian
Pada zaman Heian, washi dapat diproduksi dalam jumlah besar berkat pendirian pabrik-pabrik kertas dan teknik Nagashizuki. Pada masa itu, washi juga diproduksi di 44 provinsi selain produksi pabrik yang disebut kamiya-in. Istana kaisar mulai menggunakan washi dalam jumlah banyak dan pemakaian papan kayu bertulis (mokkan) mulai ditinggalkan.
Danshi
Pria bangsawan zaman Heian menulis aksara kanji di atas kertas kokushi, sedangkan wanita menulis aksara hiragana di atas kertas danshi. Pada zaman Heian, kertas danshi tidak lagi dibuat dari pohon suku Celastraceae (nishiki) melainkan dari pohon murbei kertas. Penjelasan mengenai kertas danshi terdapat dalam literatur Genji Monogatari dan Makura no Sōshi.
Hishi (ganpishi)
Kertas diproduksi dengan tiga macam ketebalan (tipis, sedang dan tebal). Menurut literatur klasik Utsubo Monogatari dan Makura no sōshi, laki-laki pada zaman Heian menyenangi kertas hishi yang tebal untuk dipakai sebagai kaishi (kertas alas makan kue), sedangkan wanita lebih menyenangi kertas tipis.
Kaishi
Pada umumnya, bangsawan Jepang menyisipkan kertas kaishi di bawah lengan kimono. Kaishi adalah kertas berfungsinya sebagai sapu tangan, lap cangkir (sakazuki) sewaktu minum sake, alas makan kue, atau kertas untuk menulis kalau tiba-tiba perlu menulis waka. Menurut kebiasaan penggunaan Kaishi pada zaman Heian, laki-laki menggunakan kertas jenis danshi dan wanita menggunakan kertas jenis hishi.
Akhir zaman Heian
Washi sudah diproduksi besar-besaran tetapi tetap merupakan barang langka. Kertas bahkan digunakan sebagai barang hadiah. Pada masa ini kertas mulai didaur ulang. Kertas baru hasil daur ulang yang agak kehitaman disebut sebagai kertas usuguroshi.
Kertas usugiroshi
Pada tahun 880 setelah Fujiwara no Tamiko wafat, surat-surat dari Kaisar Seiwa dikumpulkan untuk didaur ulang. Kertas hasil daur ulang dipakai untuk menyalin Lotus Sutra yang dimaksudkan untuk mendoakan arwah kaisar. Pada waktu itu orang Jepang belum mengenal cara menghilangkan tinta dari kertas daur ulang. Kertas hasil daur ulang masih berwarna kehitaman.
Penutupan pabrik kertas pemerintah
Setelah para tuan tanah di berbagai daerah di Jepang mulai memproduksi kertas sendiri, pabrik kertas pemerintah menjadi kekurangan bahan baku. Pabrik kertas pemerintah yang sebelumnya hanya memproduksi kertas berkualitas tinggi akhirnya hanya bisa memproduksi kertas daur ulang dari kertas bekas dan sampah kertas. Kertas hasil daur ulang produksi pabrik pemerintah disebut kertas shukushi, dan akhrinya kertas kehilangan status sebagai barang mahal. Pabrik-pabrik kertas milik pemerintah akhirnya semua ditutup pada zaman Istana Utara dan Selatan.